Pada 2020, merek fesyen cepat Boohoo dari Inggris menjadi berita utama setelah investigasi menemukan praktik kerja yang buruk di salah satu pabrik pemasoknya di Leicester. Upah pekerja di bawah standar, kondisi kerja minim keselamatan, dan tidak adanya keterbukaan data rantai pasok membuat publik bereaksi keras. Sustainalytics segera menurunkan penilaian risiko ESG Boohoo, dan investor mulai menarik diri. Beberapa retailer besar, termasuk Asos, Next, dan Zalando, memutus kontrak dengan brand yang sebelumnya sedang naik daun itu. Nilai pasar Boohoo jatuh dalam hitungan minggu, dan reputasinya hancur di mata konsumen.
Kasus Boohoo adalah pengingat keras bahwa di era ESG, kegagalan memenuhi standar keberlanjutan bukan lagi urusan kecil. Ia bisa langsung berdampak pada kontrak, harga saham, bahkan masa depan perusahaan. Yang menarik, Boohoo bukanlah perusahaan dengan produk buruk atau harga tidak kompetitif. Ia hanya gagal membuktikan bahwa rantai pasoknya memenuhi syarat keberlanjutan. Inilah bukti nyata bahwa standar ESG bukan sekadar jargon, melainkan faktor penentu yang bisa mengubah arah bisnis.
Jika kita menengok ke dunia lembaga pemeringkat, lanskapnya memang kompleks. Ada Sustainalytics, MSCI, EcoVadis, CDP, DJSI, dan masih banyak lagi. Masing-masing menggunakan metodologi berbeda, tetapi tujuannya sama: menguji apakah sebuah perusahaan layak dipercaya dalam hal keberlanjutan. Sustainalytics, misalnya, menyoroti seberapa besar risiko yang dihadapi perusahaan akibat isu ESG dan seberapa baik manajemennya mengendalikan risiko itu. Perspektifnya jelas: apakah perusahaan aman bagi investor?
Di sisi lain, Dow Jones Sustainability Index atau DJSI menempatkan standar jauh lebih tinggi. Ia tidak sekadar menilai apakah risiko terkendali, tetapi apakah sebuah perusahaan layak menjadi teladan global dalam keberlanjutan. Ratusan indikator digunakan untuk menilai tata kelola, strategi iklim, inovasi produk, keterlibatan pemangku kepentingan, hingga transparansi pelaporan. Masuk ke DJSI adalah prestasi yang hanya diraih sedikit perusahaan, tetapi efeknya besar: reputasi positif, akses modal lebih mudah, dan kepercayaan dari investor serta konsumen.
Antara Sustainalytics dan DJSI, ada lembaga-lembaga lain yang membentuk spektrum penilaian. MSCI membandingkan perusahaan dengan rekan-rekan seindustri, memberi nilai berdasarkan seberapa baik mereka mengelola eksposur ESG dibanding pesaing. EcoVadis lebih populer di rantai pasok global, terutama di Eropa, karena digunakan buyer besar untuk menilai apakah pemasoknya memenuhi standar etika, lingkungan, dan tata kelola. CDP fokus pada keterbukaan data iklim, air, dan hutan, sementara TCFD mendorong perusahaan melaporkan risiko iklim dalam bahasa keuangan yang bisa dipahami investor. Di Indonesia, PROPER menjadi alat pemerintah menilai kinerja lingkungan perusahaan dengan sistem warna dari hitam hingga emas.
Benang merah dari semua lembaga ini adalah kebutuhan akan komitmen, transparansi, sistem, dan bukti nyata. Komitmen berarti perusahaan harus memiliki kebijakan resmi terkait lingkungan, tenaga kerja, etika, dan keberagaman. Transparansi berarti data emisi, energi, air, limbah, dan tenaga kerja harus dihitung, dicatat, dan dipublikasikan. Sistem berarti adanya mekanisme yang memastikan kebijakan dijalankan konsisten, seperti sertifikasi ISO. Dan bukti nyata berarti adanya hasil: penurunan emisi, peningkatan efisiensi, kesejahteraan pekerja yang membaik. Tanpa itu semua, klaim keberlanjutan hanya akan dianggap retorika.
Mengapa tuntutan ini semakin keras? Karena investor, konsumen, regulator, dan mitra bisnis sudah berubah. BlackRock, manajer aset terbesar di dunia, secara terbuka menyatakan akan mengurangi investasi di perusahaan yang abai terhadap isu iklim. Data Morningstar menunjukkan dana berbasis ESG terus tumbuh meski dana konvensional menurun. Survei NielsenIQ pada 2023 mendapati hampir 80 persen konsumen global menjadikan keberlanjutan sebagai faktor penting saat membeli produk. Regulasi juga semakin ketat, dari Uni Eropa dengan CSRD, Amerika dengan aturan SEC, hingga OJK yang mewajibkan laporan keberlanjutan tahunan bagi emiten di Indonesia.
Di tengah peta besar itu, menarik melihat contoh dari Indonesia. Unilever Indonesia menjadi salah satu perusahaan yang relatif maju dalam integrasi keberlanjutan. Setiap tahun mereka menerbitkan Sustainability Report yang mengacu pada standar internasional GRI dan SASB, memastikan transparansi data dapat dipertanggungjawabkan. Melalui program global Unilever Sustainable Living Plan, perusahaan ini menetapkan target ambisius: seluruh kemasan plastik mereka dapat digunakan kembali, didaur ulang, atau terurai pada tahun 2025.
Selain fokus pada isu lingkungan, Unilever juga mendorong transformasi sosial. Mereka bekerja dengan ribuan petani kecil di rantai pasok untuk meningkatkan praktik pertanian berkelanjutan, sekaligus memperbaiki taraf hidup para petani. Di sisi operasional, Unilever melaporkan pengurangan signifikan dalam intensitas energi dan emisi, sejalan dengan komitmen global mereka untuk mencapai net-zero. Transparansi, target terukur, dan keterlibatan pemangku kepentingan inilah yang membuat Unilever Indonesia dipercaya oleh investor dan konsumen, serta menjadikannya contoh bagaimana perusahaan lokal bisa mengikuti standar keberlanjutan global.
Namun, penting diingat bahwa Unilever bukan tanpa cela. Perusahaan ini juga pernah menghadapi kritik tajam dari berbagai pihak. Organisasi lingkungan menuding mereka sebagai salah satu produsen plastik sekali pakai terbesar di dunia, sehingga sempat masuk daftar “Top 3 Global Plastic Polluters.” Di sektor sawit, meski Unilever berkomitmen pada standar RSPO, beberapa pemasoknya pernah disorot karena isu deforestasi atau kondisi kerja yang buruk. Bahkan di pasar produk konsumen, ada kritik bahwa klaim “hijau” mereka kadang dianggap terlalu jauh, hingga memunculkan tuduhan greenwashing. Bedanya, dibanding kasus Boohoo yang langsung meruntuhkan kontrak dan harga saham, Unilever memiliki kapasitas manajemen untuk merespons kritik ini. Mereka merevisi target, memperbarui komitmen, dan berupaya menjaga transparansi. Itulah sebabnya reputasi mereka tetap relatif kuat di mata investor maupun konsumen global.
Memenuhi standar keberlanjutan memang membutuhkan biaya dan upaya ekstra. Namun manfaatnya nyata: akses ke pembiayaan hijau, reputasi yang lebih baik, loyalitas konsumen, bahkan efisiensi biaya operasional. Sebaliknya, mengabaikannya bisa berujung fatal: kehilangan kontrak, denda, disinvestasi, atau krisis reputasi. Boohoo sudah merasakannya. Perusahaan-perusahaan lain di Indonesia pun bisa belajar, baik dari kegagalan Boohoo maupun dari pengalaman Unilever Indonesia—dengan semua keberhasilan dan kritiknya—dalam mengintegrasikan ESG ke dalam strategi bisnis.
Perjalanan menuju keberlanjutan bisa dimulai dengan langkah kecil. Perusahaan dapat memetakan isu material yang paling relevan dengan bisnisnya, menyusun kebijakan dasar, mengumpulkan data, menggunakan kerangka global seperti GRI atau SASB, lalu melibatkan pemangku kepentingan dalam prosesnya. Perbaikan bisa dilakukan bertahap. Tidak ada perusahaan yang langsung masuk DJSI dalam semalam. Namun setiap langkah perbaikan—dari mengelola risiko ala Sustainalytics, meningkatkan keterbukaan ala CDP, hingga memperkuat rantai pasok ala EcoVadis—akan mendekatkan perusahaan pada standar kepemimpinan global.
Pada akhirnya, semua standar ESG hanyalah cermin. Mereka memperlihatkan di mana posisi perusahaan saat ini, apa risikonya, dan peluang apa yang bisa diraih. Perjalanan dari Sustainalytics ke DJSI bukan sekadar perjalanan dari satu rating ke rating lain, tetapi perjalanan transformasi: dari sekadar mengurangi risiko menuju menjadi pemimpin yang menginspirasi. Di tengah dunia yang berubah cepat, perjalanan ini bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Penulis : Al Mujizat