PIK 2: Janji Kemewahan di Pesisir, Tantangan Sosial dan Lingkungan di Baliknya

Di balik gemerlapnya ambisi menjadikan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 sebagai kota mandiri modern dengan wisata pantai buatan, pusat perbelanjaan, dan perumahan elit, terselip cerita tentang krisis sosial dan lingkungan yang jarang terdengar. Saat reklamasi besar-besaran mengubah wajah pesisir utara Jakarta – Tangerang , warga setempat harus menghadapi penggusuran mendadak dan risiko lingkungan baru. Proyek ini, yang awalnya digadang-gadang membawa kemajuan, justru menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang diuntungkan? Apakah PIK 2 benar-benar solusi pembangunan berkelanjutan, atau hanya mimpi megah yang melupakan hak-hak masyarakat dan ekosistem yang terpinggirkan?
Proyek ini tidak hanya mengundang perhatian karena skala besar dan investasinya yang mencapai Rp 65 triliun tetapi juga karena sejumlah persoalan yang muncul di lapangan. Bentuk pelanggaran yang terjadi mencakup masalah sosial, lingkungan, hingga tata kelola, yang memunculkan banyak kritik dan protes dari berbagai pihak.
PIK 2 dikembangkan di atas lahan seluas 1.756 hektare, dan telah ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh pemerintah Indonesia. PIK 2 dirancang untuk menjadi kawasan modern berbasis hijau dengan konsep “Tropical Coastland”, yang meliputi green area, eco-city, dan wisata berbasis lingkungan seperti kawasan mangrove dan ruang terbuka publik.
Namun proses pengembangan PIK 2 menimbulkan konflik sosial akibat penggusuran lahan yang dianggap tidak adil dan tidak transparan. Warga yang terkena dampak penggusuran mengeluhkan bahwa mereka dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka tanpa mendapatkan kompensasi yang layak. Dalam beberapa kasus, warga bahkan tidak diberi alternatif atau solusi yang memadai untuk relokasi.
Selain itu, pembangunan tembok tinggi di sekitar kawasan PIK 2 dinilai memisahkan komunitas desa sekitar dari fasilitas umum dan sosial, sehingga menimbulkan ketimpangan dan pengucilan sosial. Hal ini disebut melanggar hak-hak dasar warga dan memperburuk ketidakadilan sosial di wilayah tersebut
Agus Pambagio, seorang pengamat kebijakan publik, menyatakan bahwa proyek seperti PIK 2 cenderung “memanfaatkan kekuatan ekonomi untuk mendesak warga keluar, tanpa adanya dialog atau kesepakatan yang seimbang.” Hal ini melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hak-hak warga untuk mendapatkan perlindungan atas tanah mereka.
Salah satu keluhan utama adalah kurangnya keterlibatan publik dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Warga lokal mengaku tidak pernah diundang untuk terlibat dalam proses perencanaan atau konsultasi terkait proyek ini. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan terhadap pengembang dan pemerintah daerah. Dalam banyak kasus, warga hanya mengetahui proyek ini ketika mereka sudah dihadapkan pada realitas penggusuran atau perubahan akses jalan.
Proyek PIK 2 melibatkan reklamasi besar-besaran di pesisir utara Jakarta, yang berdampak negatif pada lingkungan. Proses reklamasi menimbulkan kerusakan pada ekosistem pesisir, termasuk hilangnya habitat alami bagi berbagai spesies laut. Selain itu, reklamasi dianggap memperburuk kondisi banjir di sekitar Jakarta dan Tangerang karena perubahan aliran air dan penurunan area resapan alami.
Penetapan PIK 2 sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) juga memunculkan kritik. Agus Pambagio mempertanyakan mengapa proyek ini diberikan status PSN, yang seharusnya digunakan untuk proyek yang mempercepat pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Status PSN memberikan sejumlah keuntungan seperti percepatan perizinan dan insentif pajak, yang dikhawatirkan justru membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang oleh pihak swasta. Beberapa ahli menilai bahwa proyek seperti ini lebih menguntungkan pengembang daripada masyarakat lokal, sehingga prinsip dasar PSN, yakni pemerataan ekonomi, tidak tercapai.
Proses pembangunan dan reklamasi PIK 2 juga meningkatkan risiko banjir dan erosi di kawasan sekitar. Reklamasi pesisir mengganggu aliran air alami dan mengurangi kapasitas penyerapan air tanah, yang berpotensi memperburuk banjir di daerah sekitar proyek.
Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa proyek PIK 2, meskipun menjanjikan pembangunan besar dan modernisasi, menghadapi tantangan serius terkait keberlanjutan sosial dan lingkungan. Tanpa mitigasi yang tepat, dampak negatif dari proyek ini bisa terus berkembang dan menimbulkan masalah jangka panjang bagi masyarakat dan ekosistem.
Proyek PIK 2 dikembangkan oleh dua konglomerat besar di Indonesia: Agung Sedayu Group dan Salim Group. Keduanya dikenal sebagai pemain kunci dalam sektor properti dan infrastruktur. Agung Sedayu Group memiliki portofolio yang kuat di Jakarta, mencakup PIK 1, Kelapa Gading, dan sejumlah pusat perbelanjaan. Sementara itu, Salim Group adalah nama besar dengan bisnis yang meliputi pangan (Indofood), perbankan, dan telekomunikasi.
PIK 2 dirancang sebagai kelanjutan dan perluasan dari PIK 1. Kawasan ini mencakup perumahan modern, pusat komersial, sekolah internasional, rumah sakit, hingga pantai buatan untuk wisata dan rekreasi. Ambisi dari proyek ini adalah menciptakan kota mandiri dengan fasilitas lengkap, yang dapat menarik investor sekaligus meningkatkan gaya hidup modern bagi penghuninya.
Namun, ambisi besar ini diiringi dengan berbagai kontroversi, terutama terkait dampak sosial dan lingkungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah proyek sebesar ini telah berjalan sesuai dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan?
Isu dan Relevansinya
Dalam konteks PIK 2, apabila dilakukan penggusuran warga tanpa proses konsultasi dan kompensasi yang adil merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Sesuai dengan Global Compact Prinsip 1, perusahaan harus mendukung dan menghormati perlindungan hak asasi manusia di lingkungan operasional mereka. Prinsip ini juga tercermin dalam ISO 26000 pada bab 6.3 (Hak Asasi Manusia), yang mengharuskan perusahaan menghindari tindakan yang berdampak negatif terhadap masyarakat lokal, seperti pengusiran paksa.
Pengabaian proses konsultasi dan transparansi bertentangan dengan standar internasional ini. Tidak hanya menciptakan konflik sosial, tetapi juga melanggar hak-hak komunitas yang terlibat. Sebuah perusahaan properti seharusnya melibatkan masyarakat dalam dialog terbuka dan memastikan setiap warga yang terdampak diberi pilihan serta kompensasi yang memadai, baik dalam bentuk uang maupun program relokasi yang layak.
Dalam pelaksanaan proyek PIK 2, proses reklamasi yang menyebabkan kerusakan pada ekosistem pesisir menunjukkan kurangnya kepatuhan terhadap Prinsip 7 dan 8 Global Compact, yang menuntut perusahaan untuk mendukung pendekatan pencegahan dalam menghadapi masalah lingkungan dan mengambil langkah proaktif untuk mengurangi dampak negatif. Hal ini selaras dengan ISO 26000 Bab 6.5 (Lingkungan), yang mengharuskan perusahaan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem dalam setiap kegiatan operasionalnya.
Tidak adanya mitigasi terhadap dampak lingkungan, seperti banjir dan erosi, juga bertentangan dengan Prinsip 9 Global Compact, di mana perusahaan diharapkan untuk mendorong pengembangan teknologi ramah lingkungan. PIK 2 seharusnya memprioritaskan pengelolaan ekosistem pesisir dan memastikan bahwa reklamasi dilakukan secara bertanggung jawab dengan mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang.
Sesuai ISO 26000 Bab 6.2 (Keterlibatan dan Pengembangan Masyarakat), perusahaan harus melibatkan masyarakat lokal dalam setiap tahap pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam kasus PIK 2, kurangnya transparansi dalam proses pembebasan lahan dan minimnya partisipasi warga dalam perencanaan proyek menunjukkan pelanggaran prinsip keterlibatan masyarakat.
Selain itu, Bab 6.8 (Kepatuhan Sosial) menekankan pentingnya perusahaan beroperasi dengan menghormati norma sosial dan budaya masyarakat setempat. PIK 2 seharusnya berperan dalam meningkatkan kesejahteraan komunitas di sekitar proyek, misalnya dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan menyediakan fasilitas publik yang dapat diakses oleh semua pihak.
Pembangunan besar seperti PIK 2 tidak lepas dari risiko praktik korupsi, terutama dalam proses perizinan dan pembebasan lahan. Global Compact Prinsip 10 menekankan bahwa perusahaan harus bekerja secara transparan dan bebas dari praktik suap. Ini sejalan dengan ISO 26000 Bab 6.6 (Tata Kelola Organisasi), yang mengharuskan perusahaan untuk menerapkan tata kelola yang baik, termasuk menghindari konflik kepentingan dan mematuhi regulasi yang berlaku.
Adanya indikasi perizinan yang tidak transparan atau pembebasan lahan yang bermasalah di PIK 2 dapat merusak reputasi dan menimbulkan konflik hukum di masa mendatang. Tata kelola yang baik akan memastikan bahwa proyek ini dijalankan secara bertanggung jawab dan meminimalkan potensi korupsi.
Tinjauan terhadap Global Compact dan ISO 26000 menunjukkan bahwa proyek PIK 2 menghadapi tantangan serius dalam penerapan prinsip-prinsip HAM, perlindungan lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan tata kelola yang baik. Perusahaan harus segera memperbaiki kekurangan ini agar proyek dapat berjalan sesuai dengan standar internasional dan menghasilkan dampak positif bagi semua pemangku kepentingan.
Sebagai solusi, masyarakat lokal perlu dilibatkan sejak awal dalam setiap pengambilan keputusan, proyek harus menerapkan teknologi ramah lingkungan dan melakukan pemantauan ekosistem secara berkala, menghormati hak asasi dan memberikan kompensasi yang adil, setiap warga terdampak harus mendapat kompensasi yang layak dan pilihan relokasi yang memadai dan menerapkan Tata Kelola yang Transparan dalam proses perizinan dan pengadaan lahan harus bebas dari praktik suap dan dijalankan dengan akuntabilitas penuh. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, PIK 2 tidak hanya dapat menjadi simbol kemajuan, tetapi juga contoh bagi perusahaan lain dalam menjalankan bisnis secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Pembangunan yang menghormati lingkungan dan hak-hak sosial akan memastikan proyek ini memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan di sekitarnya.
Penulis : Dale Hariri (Peneliti SVI)
Tags: Global Compact, PIK 2