Membangun Modal Sosial Kelompok Komunitas
Oleh: Suryana Miharja-AL Mujizat-SVI
Saat Menyusun dokumen pemetaan sosial, perusahaan akan mengidentifikasi forum-forum yang ada di Masyarakat, konon salah satu fungsinya untuk memudahkan Perusahaan menyosialisasikan program-program tanggung jawab sosial yang akan dijalankan.
Fungsi tersebut memang bisa diraih, karena forum adalah lembaga atau badan, tempat pertemuan untuk bertukar pikiran secara bebas (KBBI, 2003), namun selain menyosialisasikan program, Perusahaan tentu saja berharap program pemberdayaan yang dijalankan bisa berhasil.
Agar program yang akan dijalankan berhasil, tentu saja tidak cukup hanya mengidentifikasi forum, melainkan harus melihat jauh ke dalam forum, karena yang lebih penting bukan forumnya melainkan bagaimana interaksi yang terjadi di dalam forum. Dengan demikian bisa melihat Forum menjadi dua bagian, yaitu tempat orang berinteraksi dan interaksi orang yang menjadi bagian dari forum tersebut.
Kelompok Sosial
Forum tidak lain adalah kelompok sosial. Kelompok sosial menurut Maclever & Charles H. Page (1957), adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, yang bersifat mempengaruhi dan saling menolong. Menurut Soerjono Soekanto (1983), kelompok adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama karena saling berhubungan diantara mereka secara timbal balik dan saling mempengaruhi. Menurut Robert K. Merton (1967), kelompok adalah sekumpulan orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan. Dengan demikian kelompok bukan sekedar wadah melainkan tempat anggota kelompok berinteraksi.
Kelompok yang terbentuk akan berkembang secara bertahap, menurut Robbins dan Judge dikutip Wibowo (2014:167-168) tahapan tersebut adalah:
1. Forming
Tahap forming ditandai oleh banyaknya ketidakpastian tentang maksud, struktur, dan kepemimpinan kelompok. Anggota mempertimbangkan tipe perilaku apa yang dapat diterima. Tahapan ini selesai apabila anggota mulai berpikir bahwa diri mereka sebagai bagian dari kelompok.
2. Storming
Tahap storming adalah tentang konflik dalam kelompok. Anggota menerima keberadaan kelompok, tetapi menolak memaksa pada individualitas. Selanjutnya terjadi konflik tentang siapa yang akan mengawasi kelompok. Ketika tahap ini selesai, akan terdapat hierarki kepemimpinan yang relatif jelas dalam kelompok.
3. Norming
Tahap norming hubungan dekat berkembang dan kelompok menunjukkan kepaduan atau kohesivitas. Karenanya timbul perasaan kuat atas identitas dan persahabatan. Tahap ini selesai ketika struktur kelompok menguat dan kelompok telah menstimulasikan harapan bersama tentang apa yang menjadi perilaku anggota yang benar.
4. Performing
Tahap performing. Struktur pada titik ini adalah fungsional dan diterima sepenuhnya. Energi kelompok berpindah dari sekedar untuk saling mengetahui dan memahami, menjadi untuk mewujudkan tugas.
5. Adjourning
Tahap adjourning merupakan persiapan untuk pembubaran bagi kelompok yang bersifat temporer, yang mempunyai tugas terbatas. Sedangkan kelompok kerja yang bersifat permanen, tahap performing merupakan tahap akhir dalam pengembangan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan, kelompok tanpa interaksi tidak bisa disebut kelompok. Perkeliruan dalam memandang forum atau kelompok sosial ini lah yang kerap membuat tujuan pelaksanaan program tidak berhasil. Misalnya kelompok nelayan di kecamatan Sungai kunyit, mempawah, Kalbar, yang menjadi komunitas terdampak PT Pelindo II akibat pembangunan terminal kijing di Pantai kijing yang mengubah tempat mencari ikan nelayan menjadi terminal kijing sebagai bagian dari Pelabuhan Pontianak.
Penyuluh perikanan di Kecamatan Sungai Kunyit, membentuk kelompok dengan narasi agar nelayan bisa mendapatkan bantuan dari dinas kabupaten mempawah, provinsi Kalbar, atau dari Pelindo II. Dalam konteks pemberdayaan narasi ini tidak boleh direplikasi atau ditiru, karena pertama sebagaimana telah diulas dalam tulisan berjudul “menyoal kebutuhan pemangku kepentingan”, akan membuat nelayan menjadi tergantung kepada bantuan. Kedua dalam realitasnya kelompok nelayan tersebut eksis hanya untuk memperoleh bantuan dan sudah menjadi hal biasa bantuan yang diperoleh dijual dan hasilnya dibagi rata oleh anggota kelompok. Ketiga dari perspektif kelompok sosial yang menyatakan Kelompok sosial adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi, dapat dikatakan kesadaran bersama yang terbangun adalah kesadaran untuk memperoleh bantuan.
Kegagalan memahami kelompok sosial juga bisa ditemukenali pada kelompok budidaya Vanamei di Desa Sungai Dungun, salah satu desa binaan PT Pelindo II akibat tidak memperhitungkan faktor yang menghambat interaksi. Di desa tersebut ada dua sub suku yang menjadi bagian dari suku melayu di mempawah, yaitu sub suku melayu mempawah dan sub suku melayu sambas. Kedua sub suku tersebut tidak bermusuhan, namun tidak bisa bekerja sama karena ada stereotype di antara keduanya sehingga kelompok budidaya yang terbentuk dengan menggabungkan kedua sub suku tersebut pun bubar perlahan.
Strategi Membangun Modal Sosial Kelompok
Dari uraian mengenai kelompok nelayan di atas, terlihat bahwa yang terpenting bukan kelompok sebagai tempat, namun interaksi yang ada di dalam kelompok tersebut. Interaksi sosial menurut Gillin dan Gillin (Soekanto, 2010), adalah hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan antar orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, atau orang perorangan dengan kelompok manusia (Hahyeejehteh, 2021). Untuk membangun interaksi bisa dengan berbagai cara, salah satunya adalah menerapkan konsep teori komunikasi AIDA (awareness, interest, Desire dan Action).
Dengan hadirnya interaksi di dalam kelompok berikutnya akan tumbuh yang disebut modal sosial. Istilah modal sosial dikemukakan pertamakali oleh Lyda Judson Hanifan (1916) yang meneliti sebab-sebab keberhasilan seorang kepala sekolah dalam mengembangkan pendidikan di Amerika Serikat. Lyda Judson Hanifan menggunakan istilah modal sosial untuk menggambarkan ‘substansi-substansi nyata yang menjelaskan kehidupan sehari-hari orang-orang’ (1916). Hanifan terutama menaruh perhatian pada penumbuhan good will (kemauan baik), persahabatan, simpati dan hubungan sosial di antara orang-orang menyusun sebuah unit sosial’. (Santoso, 2020). Francis Fukuyama (1995) dikutip Santoso (2020) dalam buku Trust : The Social Virtues and The Creations of Prosperity menyatakan bahwa kondisi kesejahteraan, demokrasi dan daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh tingkat kepercayaan antara sesama warga. Tingkat kepercayaan bertalian dengan akar budaya, etika dan moral, yang terwujud dalam perilaku saling bantu dan kerjasama. Keberhasilan ekonomi suatu negara bangsa setara dengan perpaduan yang harmonis antara organisasi ekonomi skala besar, korporasi yang demokratis, dan nilai budaya seperti resiprositas, tanggungjawab moral dan kepercayaan.
Dari uraian di atas, modal sosial adalah kepercayaan yang tumbuh dari interaksi sosial sehari-hari yang kemudian berdampak kepada banyak hal termasuk ekonomi dan solidaritas sosial. Durkheim (dalam Lawang, 1994:181) menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Putnam (2000) dikutip Santoso membedakan modal sosial menjadi modal sosial pengikatan (bonding social capital) dan modal sosial penjembatanan (bridging social capital). Modal sosial pengikatan adalah modal sosial yang ditemukan di dalam sebuah kelompok atau komunitas, sementara modal sosial penjembatanan adalah modal sosial yang ditemukan antar kelopok. Dalam kisah kelompok budidaya vanamei di Desa Sungai Dungun, tidak ada orang yang berperan sebagai bridging social capital untuk membangun interaksi di antara dua sub suku melayu mempawah dan melayu sambas.
Saat modal sosial terbangun, maka akan memperbesar peluang keberhasilan kegiatan pemberdayaan yang menjadi salah satu bagian dari program tanggung jawab sosial Perusahaan.