Inspirasi Program CSR : Pengentasan Pengemis Kota

By:

Lihatlah di persimpangan jalan di perkotaan, pemandangan serupa sering kita temui: seorang ibu yang mendekap bayi kecil, tangannya mengulurkan cangkir plastik, atau sekelompok anak-anak yang menyanyikan lagu seadanya sembari mengetukkan tutup botol ke kaleng kosong. Sebagai pengendara, apa reaksi pertama Anda? Biasanya rasa iba segera muncul, mendorong tangan Anda merogoh kantong, memberikan beberapa ribu rupiah, dan melanjutkan perjalanan. Namun, apakah ini solusi? Ataukah kita tanpa sadar memperkuat rantai kemiskinan jalanan yang melibatkan mereka yang paling rentan?

Miris rasanya melihat anak kecil, bahkan balita, dilibatkan dalam aktivitas mengemis. Si kecil sering kali terlihat lelap dalam pelukan ibunya di bawah terik matahari atau bahkan di tengah hujan. Kita bertanya-tanya, siapa yang tega menggunakan anak-anak sebagai alat untuk menimbulkan rasa iba? Namun di balik itu, apakah ibu ini punya pilihan lain?

Sulit meyakini anak-anak ini mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak perlu juga riset mendalam untuk memastikan kesehatan mereka akan baik-baik saja, dan kondisi hidup mereka akan memadai. Dalam beberapa kasus, anak-anak yang “bekerja” di jalanan bukan anak biologis dari individu yang membawanya, melainkan bagian dari jaringan eksploitasi anak. Ironisnya, uang yang kita berikan sering kali tidak digunakan untuk kebutuhan mendesak seperti makanan atau obat-obatan, melainkan untuk pihak ketiga yang memanfaatkan mereka.

Pertanyaan besar yang sering muncul adalah, apakah mengemis merupakan pilihan mereka? Jawabannya tidak selalu sederhana. Sebagian besar pengemis jalanan memiliki latar belakang yang penuh perjuangan: kehilangan pekerjaan, keterbatasan akses pendidikan, atau lingkaran kemiskinan yang telah membelit keluarga mereka selama generasi. Di sisi lain, ada juga yang memilih jalan ini karena melihatnya sebagai “pekerjaan” mudah yang memberikan pendapatan cepat.

Dari fenomena yang terungkap, penghasilan seorang pengemis di kota besar seperti Jakarta dapat mencapai ratusan ribu rupiah sehari—jumlah yang cukup signifikan dibandingkan dengan pekerjaan buruh harian. Namun, penghasilan ini sering kali datang dengan harga yang mahal: kehilangan martabat, risiko kesehatan, dan pengabaian masa depan generasi berikutnya.

Memberikan uang langsung kepada pengemis memang memberikan kelegaan emosional sementara, tetapi dalam jangka panjang, hal ini memperkuat pola pikir ketergantungan. Tanpa disadari, kita membangun kebiasaan “mudah” bagi mereka: cukup mengulurkan tangan untuk mendapatkan uang. Ketika hal ini terus terjadi, peluang untuk mereka bangkit dari kemiskinan menjadi semakin kecil.

Lebih buruk lagi, bantuan langsung sering kali memperparah eksploitasi anak. Ketika balita dan anak-anak terbukti “efektif” dalam mengundang belas kasihan, maka eksploitasi terhadap mereka akan terus berlanjut, bahkan meluas. Jadi, jika bukan bantuan langsung, lalu apa yang bisa kita lakukan?

Di sinilah perusahaan dan program Corporate Social Responsibility (CSR) dapat memainkan peran yang signifikan. Ketimbang memberikan bantuan langsung, perusahaan dapat menciptakan model pemberdayaan yang fokus pada transformasi mindset dan peningkatan keterampilan bagi para pengemis jalanan.

Perubahan yang berkelanjutan tidak akan terjadi tanpa mengubah cara pandang individu terhadap diri mereka sendiri. Program pemberdayaan harus mencakup komponen untuk membangun rasa percaya diri, martabat, dan motivasi. Mantan pengemis perlu menyadari bahwa mereka memiliki potensi untuk hidup lebih baik dan mampu memberikan masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak mereka.

Misalnya, program pelatihan dapat diawali dengan sesi motivasi dan cerita sukses dari individu lain yang berhasil bangkit dari kemiskinan. Dengan melihat contoh nyata, mereka akan lebih percaya bahwa perubahan adalah sesuatu yang mungkin dicapai.

Bantuan langsung sementara dalam bentuk makanan, pakaian, atau tempat tinggal tidaklah tabu diproses awal. Namun, ini harus disertai dengan rencana transisi yang jelas agar mereka tidak terus bergantung pada bantuan tersebut. Misalnya, bantuan ini dapat diberikan selama tiga hingga enam bulan pertama sambil mereka mengikuti program pemberdayaan.

Perusahaan dapat mendirikan sentra pelatihan di wilayah-wilayah yang menjadi kantong pengemis. Sentra ini tidak hanya memberikan pelatihan keterampilan kerja, tetapi juga menyediakan program literasi keuangan, pendidikan dasar, dan konseling psikologis. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan bekal kepada individu sehingga mereka mampu mandiri secara finansial.

Selain pelatihan, perusahaan juga bisa menciptakan skema pekerjaan berbasis komunitas. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dapat memberdayakan mereka sebagai pekerja di kebun binaan. Perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dapat menyediakan peluang magang atau pekerjaan sesuai keterampilan yang telah mereka pelajari.

Program CSR dapat dirancang untuk memastikan bahwa anak-anak pengemis mendapatkan pendidikan yang layak. Perusahaan dapat mendirikan sekolah informal atau memberikan beasiswa untuk pendidikan formal. Anak-anak yang sebelumnya turun ke jalan dapat diarahkan kembali ke sekolah, dengan dukungan finansial untuk kebutuhan dasar seperti seragam, buku, dan biaya sekolah.

Salah satu kunci keberhasilan pemberdayaan adalah membentuk komunitas yang mendukung. Perusahaan dapat membantu membangun komunitas berbasis koperasi atau kelompok usaha mikro, di mana para mantan pengemis saling mendukung satu sama lain. Komunitas ini juga bisa menjadi wadah untuk memonitor kemajuan program dan memberikan umpan balik.

Tujuan akhir dari program pemberdayaan ini adalah menciptakan kota tanpa pengemis. Bukan karena pengemis diusir atau ditekan, tetapi karena mereka tidak lagi memerlukan jalanan untuk bertahan hidup. Dengan keterampilan yang mereka miliki, mereka dapat menjadi bagian dari masyarakat yang produktif, mendidik anak-anak mereka dengan layak, dan membangun masa depan yang lebih baik.

Melalui pendekatan berkelanjutan, program CSR tidak hanya memberikan solusi jangka pendek, tetapi juga menciptakan dampak jangka panjang yang nyata. Tidak ada lagi anak-anak yang tertidur di trotoar, tidak ada lagi ibu yang mengemis dengan bayinya, dan tidak ada lagi wajah-wajah yang kehilangan harapan di persimpangan jalan. Mengubah nasib mereka memang tidak mudah, tetapi dengan langkah bersama yang terarah, kita bisa membangun masyarakat yang lebih adil, setara, dan penuh harapan. Kota-kota di Indonesia pun akan menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang, tanpa terkecuali.

Al Mujizat – Founder SVI

Tags: , ,